MinorityIdeas

Share the Ideas Within the Codes of Peace

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Rabu, 31 Maret 2010

Konsep 'Nir Kekerasan'

created by MinorityIdeas


Pernahkah anda mendengar mengenai konsep nir kekerasan? Ya, ini merupakan suatu konsep yang belum terlalu familiar, karena konsep“kekerasan” lebih sering didengar dan dipraktekkan dalam penyelesaian masalah atau konflik, daripada 'nir kekerasan', dan pada akhirnya menimbulkan perdebatan apakah nir kekerasan itu sebuah keniscayaan atau hanya suatu hal yang utopis, dan apa batasan-batasannya? Karena itu, maka “kekerasan” harus kita ketahui terlebih dahulu.

Untuk menjawab kegalauan dan kebingungan saya itu, maka boleh kiranya saya mengutip sebuah tulisan Hasan Hanafi dalam bukunya: Agama, Kekerasan, & Islam Kontemporer, yang memaparkan bahwa kekerasan muncul bila eksistensi manusia terancam. Ketidakadilan social merupakan salah satu bentuk keterancaman eksistensi tersebut, karena penghancuran bertentangan dengan eksistensi manusia. Dalam sejarah, institusi politik merupakan media ekspresi entitas manusia. Kekerasan sangat mungkin terjadi jika fungsi tersebut hancur dan kehidupan social tidak akan tertata. Fenomena ini disebut dengan diaspora. Karena Negara adalah institusi tertinggi yang merupakan muara dari segala macam institusi yang ada, maka menghancurkan Negara akan menjadi penyebab serius dalam terjadinya kekerasan dalam skala besar.

Bilamana kekerasan terjadi? Kekerasan terjadi dalam lingkungan tertentu dimana hanya kekerasan yang menjadi satu-satunya jalan untuk mengekspresikan eksistensi kemanusiaan. Kekerasan hanyalah manifestasi eksternal dan yang terakhir setelah upaya yang panjang dan berliku dilewati. Kekerasan dimulai dari situasi yang terbentuk oleh tiga elemen: pertama, perasaan mendalam dari individu, kelompok, dan bangsa akan ketidakadilan dan keputusasaan; kedua, ketidakberdayaan individu, kelompok dan masyarakat dalam mengubah ketidakadilan tersebut melalui cara nir kekerasan; ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekedar dialog semu. Pada momen seperti ini, dialektika kekerasan dan nir kekerasan mengalami guncangan luar biasa. Ketegangan antara tesis dan antithesis dalam dialektika tersebut mencapai puncaknya. Meledaknya gerakan kekerasan, baik yang bersifat represif maupun revolusioner, menjadi pertimbangan historis penting dalam penelitian untuk menemukan jalan tengah dalam proses dialektika.

Dalam bukunya, Agama & Budaya Perdamaian, Prof. Chaiwat Satha Anand, mencoba untuk membuktikan bahwa nir kekerasan merupakan suatu hal yang jelas ada. Beliau menjelaskan secara gamblang mengenai ajaran-ajaran agama besar di dunia yang pada intinya mengandung dan membawa pesan-pesan damai. Dimulai dari ajaran islam, sebelum masuk kearah nilai dan pesan damai yang dibawanya, islam sering kali dipandang sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Terutama pada konsep “jihad” yang menjadi banyak sorotan para pemikir Barat. Namun disini konsep Jihad yang sebenarnya bukanlah berperang ataupun melakukan tindakan kekerasan dengan membabi buta dan berlandaskan fanatisme. Justru Jihad yang sebenarnya adalah berarti menentang penindasan, kezaliman, dan ketidakadilan dalam semua bentuknya. Ibn Taymiya menjelaskan bahwa terkadang jihad dicapai melalui perasaan, kadang-kadang melalui lidah, atau melawan kelemahan dan kebusukan hati kita sendiri.

Tindakan nir kekerasan itu sendiri tercermin dalam tindakan suri tauladan Nabi Muhammad, Yesus, Gandhi, dan Sidharta Gautama, yang mewakili agama-agama besar di dunia ini. Nabi Muhammad sebagai suri tauladan dalam agama islam, yang mana mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan nyata memperlihatkan tindakan nir kekerasannya. Sebagai contoh pada saat persengketaan pembangunan Kaabah, beliau Rasulullah menyelesaikan masalah kaummnya dengan tindakan yang arif tanpa kekerasan. Pun yang terjadi pada saat beliau kembali ke Mekkah (peristiwa penaklukan Mekkah) tindakan yang dilakukan oleh seorang Muhammad adalah justru memaafkan penduduk Mekah yang dulu memusuhinya. Yesus juga mengalami hal yang sama seperti Nabi Muhammad, yang mana ketika ia disiksa dan disalib, ia justru mendoakan orang-orang yang menyakitinya agar mereka dibukakan pintu hatinya dan dihapuskan dosa-dosanya karena ketidaktahuannya. Gandhi melalui ahimsa-nya dalam melawan kolonialisme di India merupakan suatu tindakan nir kekerasan yang justru membuatnya rela berkorban demi terciptanya kedamaian. Contoh-contoh yang sudah diapaprkan merupakan suatu nilai-nilai ideal agama yang sudah menjadi satu dalam tubuh dan jiwa orang-orang terpilih tadi, yang membuktikan bahwa tindakan nir kekerasan untuk mencapai yang disebut sebagai suatu perdamaian merupakan suatu hal yang nyata.

Namun, satu hal yang ingin saya tambahkan dalam tulisan Prof. Chaiwat Satha Anand bahwa beliau terlewatkan dalam menjelaskan bagaimana agama-agama besar tersebut, dengan segala nilai-nilai luhur dan perdamaiannya itu, mampu diinterpretasikan dengan bijak dan benar oleh orang-orang terpilih itu, karena tidak semua orang mampu meniru dan menauladaninya, yang mana terkadang terjebak dalam subyektifitas interpretasi yang cenderung mengikuti hawa nafsu manusia itu sendiri dan menolak nilai-nilai ideal yang bertolak belakang dengan agresifitas dan nafsu manusia.

Lepas dari nilai ideal ajaran agama, yang mencerminkan tindakan nir kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan masalah. Yang menjadi sebuah tantangan besar dalam mewujudkan tindakan nir kekerasan adalah tindakan-tindakan ketidakadilan yang sangat sering terjadi dalam kehidupan social sehingga terjadilah pembangkangan social yang merupakan sebagai bentuk ekspresi dalam melawan ketidakadilan ini, dan tentunya dalam bentuk kekerasan. Selain itu, represi Negara merupakan satu hal yang tanpa kita sadari merupakan suatu bentuk ancaman yang selalu ada dalam kehidupan bernegara, yang mana sangat bertolak belakang dengan konsep ideal Negara tetapi selalu eksis hingga saat ini. Tantangan-tantangan ini merupakan suatu hal yang mesti dihadapi oleh penganut ajaran nir kekerasan dan pada akhirnya jangan sampai “nir kekerasan” hanya akan menjadi sebuah slogan utopis belaka. Negara sebagai sebua institusi politik yang mewadahi kehidupan rakyatnya sudah seharusnya belajar untuk eksisten melakukan tindakan nir kekerasan, dan hal ini haruslah dimulai dari individu manusia masing-masing terlebih dahulu. Sehingga dengan terusnya dan membudayanya hal itu maka proses dialektika dan perputaran sejarah budaya akan mampu menciptatakan apa yang disebut sebagai budaya perdamaian dalam kehidupan manusia di bumi ini, dan hal ini merupakan suatu hal yang niscaya meskipun tantangan-tantangan yang besar akan selalu ada dihadapannya. Agama yang memiliki nilai-nilai sejati perdamaian tidak dapat disangkal menjadi sebuah doctrinal positif yang merasuki alam pikiran dan tindakan manusia sehingga budaya perdamaian yang menjadi harapan dan cita-cita umat manusia dapat terwujud.

0 komentar: